Memiliki keluarga yang berasal dari daerah yang berbeda, yang tinggal di provinsi berbeda atau ia tinggal di negara yang berbeda memang cukup menyenangkan. Apa lagi bagi para traveler, hal ini baginya dapat meminimalisir budget penginapan. hehehehe.
Namun kali ini saya tidak ingin membahas mengenai jalan-jalan. Tetapi saya ingin membahas mengenai karakter dan budaya yang berbeda, dari setiap orang yang kita kenal, dan ia tinggal di tempat yang berbeda dengan kita.
Mungkin akan menyenangkan, karena kita dapat saling berbagi pikiran mengenai karakter dari orang-orang yang ada di lingkungan sekitar kita. Selain itu, kita pun mampu menceritakan mengenai lingkungan tempat tinggal kita, kepada kerabat kita itu.
Seperti yang terjadi semalam, antara gua, sahabat gua, dan keluarga gua dari Malaysia. Dua hari yang lalu, gua kedatangan keluarga dari Malaysia. Keluarga gua itu, memang sudah cukup lama tinggal di Malaysia dan telah berganti kewarganegaraan menjadi warga negara Malaysia.
Ketika kemarin gua mengantarkan mereka dari rumah gua ke Tanggerang, untuk mengunjungi rumah tante disana. Tentunya ketika berada di dalam mobil, banyak hal yang kami ceritakan. Salah satunya mengenai banyak warga Indonesia yang datang ke Malaysia, dan ketika sudah merasa nyaman tinggal disana, akhirnya mereka berpindah kewarganegaraan menjadi warga negara Malaysia.
Salah satu cerita yang bagi saya, membuat saya dan sahabat saya malu. Yah, sahabat saya ikut didalam mobil, karena dia-lah yang mengantarkan kami dari Bogor ke Tanggerang. Jadi ketika kita menuju arah pulang, saudara-saudara saya melihat di jalan banyak sekali "Pak Ogah" berada di pertigaan-pertigaan. Dan selalu mengulurkan tangganya ketika mobil-mobil melewati dirinya yang berdiri. Berharap mobil-mobil yang melintas akan memberikan seribu dua ribu perak.
Lalu mereka katakan, kalau di Malaysia orang-orang seperti itu akan disebut Pemalas. "Harusnya dia itu memanfaatkan kondisi badannya yang masih normal untuk melakukan pekerjaan lain," jelas tante saya yang berasal dari Malaysia itu.
Ia pun yang sebenarnya berdarah Indonesia, sampai berbicara seperti itu kepada kami bedua mengenai para 'Pak Ogah' yang bertemu sepanjang jalan di setiap pertigaan dan perempatan. Lalu, tante gua itu bercerita lagi, "kalau mereka tak punya tangan, kaki, atau anggota tubuhnya cacat itu masih wajar minta-minta. Tapi ini kaki tangan masih utuh, kok malah kerja yang begitu," kata tante gua yang suaranya logat-logat Melayu itu.
Jika di Malaysia setiap pertigaan atau perempatan yang banyak dilintasi kendaraan, tempat tersebut akan dijaga oleh polisi. Karena itu memang sudah tugas dan tanggung jawab Polisi disana. Saya dan sahabat saya tersebut yang notabene berasal dan memang menetap di Indonesia, merasa malu ketika mereka mengatakan hal itu. Kami berdua hanya tertawa, mendengar perkataan itu.
Paman saya pun yang berada didalam mobil mengatakan, jika di Malaysia orang yang penghasilannya kurang dari 5000 RM atau sekitar 15 juta rupiah akan mendapat subsidi dari Pemerintah sekitar 1000 RM. Ia jelaskan, kalau orang penghasilannya sudah diatas 5000 RM, berarti itu sudah dianggap sejahtera, di Malaysia.
Bilamana di Indonesia, orang yang memiliki tingkat pendapatan sekitar 3 juta/bulan saja itu sudah dikatakan cukup. Yah, bagi saya uang tiga juta itu hanya cukup jika untuk memenuhi kebutuhan hidup satu orang.
Padahal di Indonesia saja, yang memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah. Jika memang dikelola secara baik dan benar, Sehingga keuntungan dari semua itu dapat dimanfaatkan oleh negara untuk rakyat, akan membuat masyarakat Indonesia sejahtera. Bahkan, hasil keuntungan dari seluruh hasil bumi milik Indonesia jika pengelolaannya baik, akan mampu mensubsidi seluruh rakyat Indonesia dengan jumlah yang lebih besar dari subsidi yang diberikan pemerintah Malaysia kepada rakyatnya.
Hal ini mungkin jika diterapkan akan mampu mengurangi tingkat kejahatan di Indonesia. Karena tingkat pengangguran akan berkurang.
Hal ini mungkin jika diterapkan akan mampu mengurangi tingkat kejahatan di Indonesia. Karena tingkat pengangguran akan berkurang.
Namun, itulah potret di Indonesia. Sulit memang untuk merubahnya. Tetapi, jika kita memang ingin berubah, pasti itu bisa kita lakukan. Semoga saja, lima hingga 10 tahun ke depan, kita tidak akan pernah melihat lagi banyak pengemis di jembatan penyebrangan, maupun lampu merah. Tak pernah lagi melihat dan mendengar buruh setiap tahun meminta kenaikan upah. Semua masyarakat Indonesia akan lebih sejahtera......
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete